Apa Sih Sebab” BPJS Kok Bisa Di
Palsuin
Peredaran kartu jaminan kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) palsu
terkuak setelah polisi berhasil menciduk seorang makelar pembuat kartu
abal-abal di Cimahi, Jawa Barat, baru-baru ini.
Dalam
keterangannya, Kapolres Cimahi, AKBP Ade Ary mengungkapkan pelaku menawarkan
jasa pembuatan kartu BPJS abal-abal dengan tarif Rp100 ribu kepada korbannya.
Akibatnya, banyak pengguna BPJS meradang lantaran ditolak rumah sakit.
Untuk
mengungkap kasus pemalsuan tersebut, polisi pun tengah menunggu laporan dari
masyarakat sembari melakukan investigasi peredaran kartu palsu tersebut.
Maraknya
peredaran kartu BPJS palsu ditenggarai telah meluas dan tidak hanya terjadi di
Jawa Barat. Sebab keuntungan yang diperoleh makelar kartu abal-abal ini sangat
menggiurkan hingga memicu banyak oknum untuk memanfaatkan lemahnya kontrol
peredaran kartu sakti tersebut.
Menanggapi
hal itu, Koordinator BPJS
Watch, Timboel Siregar menilai ada beberapa faktor yang memicu
terjadinya pemalsuan kartu BPJS Kesehatan, di antaranya tingginya biaya
kesehatan menyebabkan rakyat antusias untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan,
sehingga menempuh jalur pintas untuk segera mendapatkan kartu.
"Biaya
kesehatan yang mahal menyebabkan rakyat antusias untuk menjadi peserta BPJS
Kesehatan," katanya kepada awak media, Senin (26/7).
Selain
itu, sejumlah faktor teknis memicu timbulnya kasus ini, antara lain antusiasme
rakyat untuk menjadi peserta BPJS tidak diimbangi oleh pengetahuan rakyat yang
mumpuni tentang JKN dan BPJS Kesehatan. Di samping aktivasi kartu yang cukup
lama, sehingga masyarakat enggan mengurus sendiri kartu tersebut ke badan resmi
yang mengeluarkan BPJS kesehatan.
"Seharusnya
kasus ini bisa memicu pemerintah dan BPJS Kesehatan lebih kreatif menciptakan
sistem pendaftaran yang lebih mudah dan lebih terjakau oleh masyarakat. Kantor
Pos dan Puskesmas seharusnya bisa dijadikan tempat pendaftaran peserta BPJS
Kesehatan sehingga masyarakat dengan mudah dan murah menjangkaunya," imbuh
Timboel.
Sebelumnya,
Kepolisian Resor Cimahi, Jawa Barat berhasil membongkar kasus peredaran kartu
BPJS palsu dan menangkap seorang tersangka AS. Dari tangan pelaku polisi
menyita sejumlah barang bukti untuk membuat kartu abal-abal tersebut, di
antaranya berkas pendaftaran, kwitansi, mesin print dan blanko pembuatan BPJS
Penemuan kartu BPJS Kesehatan
palsu di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, membuat publik makin tidak
percaya pada pemerintah setelah munculnya wabah vaksin palsu.
Berdasarkan informasi yang didapatkan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), kartu BPJS Kesehatan palsu tersebut diduga dimiliki oleh sekitar 230 orang dari Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Warga Desa Kertajaya mengaku mereka mendaftar untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan kategori peserta mandiri kelas III. Mereka membayar uang sebesar Rp 100 ribu kepada pihak penyedia jasa pembuatan kartu dan akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis selama dua tahun.
PATTIRO menilai ada dua penyebab utama dari kemunculan kartu BPJS Kesehatan palsu. Penyebab pertama, menurut Direktur Eksekutif PATTIRO, Sad Dian Utomo, adalah kurang maksimalnya kegiatan sosialisasi yang selama ini pihak BPJS Kesehatan lakukan. Hal itu kemudian berujung pada rendahnya pemahaman masyarakat terutama yang tinggal di desa tentang prosedur pendaftaran dan penggunaan kartu BPJS Kesehatan.
"Masyarakat yang menjadi korban kartu palsu itu memilih menggunakan jasa calo karena tidak paham dengan prosedur pendaftaran kepesertaan BPJS Kesehatan. Mereka tergiur dengan iming-iming calo yang mengatakan cukup bayar Rp 100 ribu tanpa membayar iuran per bulan," ujar Sad Dian.
Selain lemahnya sosialiasi, Spesialis Pelayanan Publik PATTIRO, Rokhmad Munawir, menuturkan bahwa penyebab lain dari munculnya kartu palsu tersebut adalah lemahnya proses verifikasi kepesertaan masyarakat di dalam program BPJS Kesehatan.
Ia menerangkan, tidak semua pihak yang menjadi bagian dari sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seperti fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama melakukan proses verifikasi.
"Banyak faskes tingkat pertama yang tidak melakukan proses verifikasi peserta, terutama puskesmas. Ini karena puskesmas mendapat dana kapitasi dari pemerintah sehingga penggunaan kartu BPJS Kesehatan palsu tidak akan merugikan mereka. Mereka tidak begitu peduli dengan proses verifikasi,” jelasnya.
Padahal, jika puskesmas dapat melakukan proses verifikasi tersebut, penolakan pasien di rumah sakit seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat tidak akan terjadi.
Rokhmad menyarankan, pihak BPJS Kesehatan harus mendorong puskesmas dan penyedia layanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi mitranya untuk melakukan proses verifikasi peserta.
Rokhmad mengatakan, sebenarnya, faskes tingkat pertama dapat memanfaatkan aplikasi khusus yang telah mereka kembangkan untuk mempermudah proses verifikasi tersebut mulai dari kategori peserta apakah mandiri atau penerima bantuan iuran, kategori kelas peserta, status pembayaran iuran per bulan bagi peserta mandiri, hingga data peserta.
Namun, BPJS Kesehatan tetap perlu meninjau kembali kefektifan penggunaan aplikasi tersebut. Menurutnya, aplikasi tersebut hanya akan efektif di daerah perkotaan. Sedangkan di daerah perdesaan, aplikasi itu tidak akan efektif karena koneksi internet di faskes tingkat pertama dan rumah sakit di sana tidak begitu baik.
Namun demikian, Rokhmad menyatakan peran masyarakat juga dibutuhkan untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik.
"Masyarakat sebagai pengguna kartu juga tidak boleh abai. Masyarakat harus mulai mandiri, misalnya membuat kartu sendiri tanpa melewati calo. Melakukan verifikasi sendiri melalui aplikasi yang ada jika memungkinkan," ujar Rokhmad
Berdasarkan informasi yang didapatkan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), kartu BPJS Kesehatan palsu tersebut diduga dimiliki oleh sekitar 230 orang dari Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Warga Desa Kertajaya mengaku mereka mendaftar untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan kategori peserta mandiri kelas III. Mereka membayar uang sebesar Rp 100 ribu kepada pihak penyedia jasa pembuatan kartu dan akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis selama dua tahun.
PATTIRO menilai ada dua penyebab utama dari kemunculan kartu BPJS Kesehatan palsu. Penyebab pertama, menurut Direktur Eksekutif PATTIRO, Sad Dian Utomo, adalah kurang maksimalnya kegiatan sosialisasi yang selama ini pihak BPJS Kesehatan lakukan. Hal itu kemudian berujung pada rendahnya pemahaman masyarakat terutama yang tinggal di desa tentang prosedur pendaftaran dan penggunaan kartu BPJS Kesehatan.
"Masyarakat yang menjadi korban kartu palsu itu memilih menggunakan jasa calo karena tidak paham dengan prosedur pendaftaran kepesertaan BPJS Kesehatan. Mereka tergiur dengan iming-iming calo yang mengatakan cukup bayar Rp 100 ribu tanpa membayar iuran per bulan," ujar Sad Dian.
Selain lemahnya sosialiasi, Spesialis Pelayanan Publik PATTIRO, Rokhmad Munawir, menuturkan bahwa penyebab lain dari munculnya kartu palsu tersebut adalah lemahnya proses verifikasi kepesertaan masyarakat di dalam program BPJS Kesehatan.
Ia menerangkan, tidak semua pihak yang menjadi bagian dari sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seperti fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama melakukan proses verifikasi.
"Banyak faskes tingkat pertama yang tidak melakukan proses verifikasi peserta, terutama puskesmas. Ini karena puskesmas mendapat dana kapitasi dari pemerintah sehingga penggunaan kartu BPJS Kesehatan palsu tidak akan merugikan mereka. Mereka tidak begitu peduli dengan proses verifikasi,” jelasnya.
Padahal, jika puskesmas dapat melakukan proses verifikasi tersebut, penolakan pasien di rumah sakit seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat tidak akan terjadi.
Rokhmad menyarankan, pihak BPJS Kesehatan harus mendorong puskesmas dan penyedia layanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi mitranya untuk melakukan proses verifikasi peserta.
Rokhmad mengatakan, sebenarnya, faskes tingkat pertama dapat memanfaatkan aplikasi khusus yang telah mereka kembangkan untuk mempermudah proses verifikasi tersebut mulai dari kategori peserta apakah mandiri atau penerima bantuan iuran, kategori kelas peserta, status pembayaran iuran per bulan bagi peserta mandiri, hingga data peserta.
Namun, BPJS Kesehatan tetap perlu meninjau kembali kefektifan penggunaan aplikasi tersebut. Menurutnya, aplikasi tersebut hanya akan efektif di daerah perkotaan. Sedangkan di daerah perdesaan, aplikasi itu tidak akan efektif karena koneksi internet di faskes tingkat pertama dan rumah sakit di sana tidak begitu baik.
Namun demikian, Rokhmad menyatakan peran masyarakat juga dibutuhkan untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik.
"Masyarakat sebagai pengguna kartu juga tidak boleh abai. Masyarakat harus mulai mandiri, misalnya membuat kartu sendiri tanpa melewati calo. Melakukan verifikasi sendiri melalui aplikasi yang ada jika memungkinkan," ujar Rokhmad